Banyak tetangga dan teman-teman saya
yang menikah muda dan akhirnya berujung pada perceraian. Ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan sebelum akhirnya
mengambil keputusan yang manakah yang
akan dilakukan. Pernikahan bukan sekedar permasalahan menyatukan dua
pribadi ke dalam satu ikatan. Lebih dari itu, pernikahan merupakan sebuah keputusan
besar menyangkut masa depan, ya masa depan yang akan dan harus dihadapi oleh
pemilihnya. Pertimbangan apa saja yang kemudian harus dilakukan sebelum
akhirnya mengambil keputusan untuk menikah?
1. Dosa
Banyak pasangan muda yang memutuskan
untuk menikah dengan pertimbangan menghindari perbuatan dosa. Apakah benar
agama memerintahkan seperti itu? Banyak pendapat yang akhirnya harus ditilik
ulang mengenai hal ini. Agama memerintahkan seseorang untuk menikah pada saat
seseorang sudah siap, kesiapan disini adalah kesiapan secara menyeluruh, dan
tidak ada agama yang menyebutkan perintah untuh menikah agar terhindar dari
perbuatan dosa. Dalam Islam sendiri di jelaskanbahwa menikah itu harus
dilakukan apabila seseorang telah merasa siap dan apabila belum siap maka
berpuasa-lah. Kalau pembenaran ini yang kemudian digunakan sebagai alasan
mengapa orang menyebutkan bahwa menikah adalah untuk menghindari perbuatan
dosa, rasanya terlalu dangkal.
Pada saat kita menikah dengan alasan
untuk menghindari perbuatan dosa, maka alasan utama pernikahan yang akan
berlangsung adalah nafsu. Mengapa demikian, karena mau tidak mau kita harus
mengakui menikah ataupun tidak menikah dosa itu tetap saja dapat terjadi. Semua
kembali kepada niat dan hati. Semurni apakah niat kita untuk membentuk sebuah
ikatan suci, sehingga nafsu bukan menjadi awal dasar pemikiran untuk mengambil
keputusan melaksanakannya.
Mungkin banyak yang menyangkal kalau
alasan menikah untuk menghidari perbuatan dosa adalah didasari oleh nafsu. Tapi
coba fikirkan ulang, ”Saya menikah untuk menghindari perbuatan dosa”. Perbuatan
dosa apa yang dihindari jika kita tidak berbicara tentang nafsu? Saya kira
penjelasan sedikit ini pun sudah menjadi logis, bukan.
Agama menjelaskan bahwa menikah
adalah sebuah tanggung jawab. Alasan untuk menghidari perbuatan dosa adalah
alasan yang paling dangkal untuk dijadikan dasar mengapa seseorang menentukan
untuk menikah di usia muda. Karena lebih dari itu pernikahan adalah sebuah
ikatan suci dimana dua orang yang memutuskan terikat dalam sebuah pernikahan
bertanggung jawab untuk saling membina sehingga akhirnya tercipta sebuah
keluarga yang harmonis sesuai dengan harapan.
Saat ini berapa banyak pasangan yang
tidak menemukan keharmonisan dalam kehidupan keluarganya. Dapat kita yakini bahwa
ini bisa terjadi karena kesalahan dasar yang diletakkan atas pernikahan itu.
Karena tidak ditemukan esensi pernikahan yang sesunguhnya pada saat mengambil
keputusan untuk menikah. Hal ini biasanya disebabkan karena pada beberapa orang
yang memutuskan untuk menikah muda kondisi mereka secara mental belum stabil,
sehingga yang ada hanyalah keinginan untuk bisa selalu bersama dan semua yang
ada dipandangannya tentang pasangannya adalah keindahan. Entahlah keadaan itu
dapat bertahan berapa lama, jika ternyata alasan menikahnya memang tidak tepat.
Bukankah Tuhan juga tidak menyukai perceraian?!
2. Orang Tua
Yang paling banyak idak setuju saat
seseorang memutuskan untuk menikah muda, biasanya adalah orang tua. Tidak hanya
orang tua dari pihak perempuan, tetapi juga orang tua dari pihak laki-laki.
Mengapa demikian?
Mari kita berada di pihak orang tua
perempuan.
Apa yang kita harapkan dari
pernikahan anak perempuan kita? Siapa yang kita harapkan untuk dapat menjadi
pendamping hidup anak perempuan kita? Seperti apa yang kita harapkan dari
kehidupan anak perempuan kita setelah menikah?
Bahkan orang tua dengan kekayaan
berlimpah yang tak akan habis membiayai seluruh keluarganya pun akan memikirkan
hal ini. Karena bukan hanya materi yang menjadi bahan pertimbangan orang tua
untuk melepaskan anak perempuannya menikah dengan seorang laki-laki. Tetapi
bukan berarti juga cukup bagi seorang laki-laki bertingkah laku baik ataupun
berpendidikan layak untuk memenuhi pertimbangan menjadi pendamping hidup anak
mereka.
Apa yang biasanya menjadi
pertimbangan orang tua sebelum melepaskan anak-anak perempuan mereka ke jenjang
pernikahan. Dalam kebudayaan kita, kita sering mengenal istilah ”bibit, bebet,
dan bobot”. Lalu apa pula artinya itu?
Biasanya orang tua akan melihat
asal-usul calon suami anak perempuannya, siapa orang tuanya, dimana rumahnya,
seperti apa keluarganya, lingkungannya. Mungkin yang tampak tidak seberat itu,
tapi itulah yang terjadi. Itu baru dari salah satu sisi. Masih ada lagi
pertimbangan lainnya seperti pekerjaan, dan tentu saja pertimbangan logis
lainnya.
Percaya atau tidak, seorang sahabat
sampai pernah menjadi semacam detektif sewaan orang tua seorang anak perempuan
untuk mencari tahu mengenai laki-laki yang berniat ingin menikahi puterinya.
Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan puterinya juga laki-laki tersebut. Dan
hasil investigasi rahasia itulah yang akhirnya menjadi dasar keputusan sang
orang tua untuk memberikan ijin kepada puterinya menikah dengan leki-laki
tersebut.
Intinya orang tua seorang perempuan
ingin benar-benar yakin jika mereka melepaskan puterinya kepada laki-laki yang
tepat. Yang akan memberikan kebahagiaan, kedamaian, perlindungan, serta
pengayoman kepada puteri mereka. Sehingga merekapun dapat tersenyum bahagia
melihat puterinya berbahagia membina keluarga yang harmonis bersama laki-laki
pilihan hatinya.
Patut disadari oleh setiap laki-laki
bahwa memberikan keyakinan kepada orang tua seorang perempuan bahwa puteri
mereka tidak akan pernah tersia-siakan adalah penting. Tapi tidak cukup hanya
itu bagi orang tua perempuan untuk dapat sampai berkata ”ya”. Tetapi tidak
perlu terlalu takut ataupun gentar, karena saat ini orang tua pun tidak lagi
memaksakan kehendak mereka, mereka hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan
sebelum akhirnya sampai pada keputusan bersama. Bukankah dalam budaya kita
menikah itu bukan hanya menyatuka dua pribadi, tetapi adalah mengikatkan dua
keluarga dalam satu ikatan persaudaraan.
Lalu bagaimana dengan orang tua
laki-laki?
Sama seperti halnya orang tua
perempuan, orang tua dari pihak laki-laki pun juga memiliki
pertimbangan-pertimbangan sebelum mengijinkan putera mereka menikahi seorang
perempuan. Yang paling banyak terjadi adalah pertimbangan bahwa apakah putera
saya tersebut benar-benar siap untuk melangkah kejenjang pernikahan, dan
menjadi pemimpin dalam keluarganya nanti. Tentu saja selain juga pertimbangan
”bibit, bebet, dan bobot” dari pihak perempuan yang kelak menjadi istri bagi
puteranya.
Logisnya adalah semua orang tua
menginginkan yang terbaik bagi putera dan puterinya. Apalagi pernikahan adalah
sebuah ikatan yang diharapkan tak berbatas waktu. Mereka ingin agar putera dan
puterinya mendapatkan kehidupan yang baik dan juga kebahagiaan setelah menikah.
Serta tidak menjadi beban bagi keluarganya tentunya. Ini semua terlepas dari
usia berapakah mereka akan melepaskan puter puterinya tersebut ke pintu gerbang
pernikahan.
3. Mental
Mungkin ini yang benar-benar perlu
disiapkan dan dipertimbangkan secara matang. Mau tidak mau, diakui atau tidak,
mental orang-orang muda masih jauh dari stabil. Banyak memang hal-hal positif
dari keadaan mental yang dinamis ini. Tapi juga tidak sedikit yang pada
akhirnya menyesali keputusan yang pernah di buat lalu ingin mengubah keputusan
tersebut. Bayangkan bila hal ini yang terjadi dengan kehidupan pernikahan.
Cinta membutakan segalanya. Yang
terlihat hanyalah keindahan. Semua menjadi terasa emosional saat berurusan
dengan hal ini, sehingga logika pun jauh terabaikan. Tidak hanya mereka yang
berusia muda yang bisa dibutakannya, bahkan mereka yang sudah berumur pun juga
sangat mungkin dibutakan oleh cinta.
Bayangkan, dalam keadaan buta dengan
kondisi mental yang tidak stabil, mengambil keputusan yang menyangkut
kehidupan, tidak hanya diri sendiri tapi juga orang lain. Apa jadinya keputusan
itu? Peluangnya 50-50. Berhasil atau gagal. Tepat atau sama sekali salah.
Sayangnya biasanya diusia muda dengan mudahnya kita berkata, ”Semua hal dalam
hidup ini kan ada resikonya, kalau tidak di coba kita tidak pernah tahu.” Hay,
anak muda! Ini bukan masalah coba-coba! Ini masalah masa depan hidup anda dan
orang yang menurut anda adalah cinta sejati anda. Benar setiap keputusan itu
beresiko, tapi anda tidak bisa bermain-main dengan hal yang satu ini. Sekali
anda salah melangkah, yang anda rusak adalah sebuah kehidupan. Masih bagus jika
saat anda menganggap itu adalah kegagalan belum ada orang ketiga, keempat dan
seterusnya yang seharusnya menjadi pelengkap hidup anda. Ya, anak. Terpikirkan
kah masalah ini saat anda berkata ”semua ada resikonya”? Tidak sedikit anak
yang menjadi korban kesalahan keputusan orang tuanya sebelum mereka diciptakan.
Oleh karena itu, untuk masalah yang
satu ini kita benar-benar memerluakn nasehat dan pertimbangan dari orang-orang
terdekat yang memiliki pengalaman lebih. Mereka akan menceritakan hal-hal apa
saja yang perlu dipersiapkan saat kita memutuskan untuk membina rumah tangga,
terutama di usia muda. Mereka akan membantu kita untuk melihat lebih dalam
mengenai cinta yang kita rasakan, sehingga cinta itu benar adanya sehingga kita
tidak buta saat memutuskan melanjutkannya ke jenjang pernikahan. Mereka akan
dengan bijaksana tidak menggurui kita untuk mengambil langkah tertentu, tapi
membantu kita berpikir dan mempertimbangkan matang-matang mengenai keputusan
yang akan kita ambil.
Akan ada banyak permasalahan yang
harus dihadapi saat kita memutuskan untuk menikah. Bahkan satu menit pertama
setelah ikatan itu diresmikan. Status, sadar bahwa kita adalah kepala, kaki,
mata, tangan, mulut dan jiwa bagi pasangan kita sehingga tidak ada lagi waktu
untuk bersikap egois, apalagi sampai ”cuci mata”. Dengan status yang baru, akan
selalu hinggap tanggung jawab baru pula. Dan dibutuhkan kesiapan mental untuk
itu. Berbagi, juga menjadi permasalahan baru. Percaya atau tidak, setelah menikah
berbagi itu tidak sama dengan pada saat berpacaran. Di tingkat ini berbagi
adalah seutuhnya, bahkan berbagi kehidupan. Bukan sekedar berada disisinya saat
ia sakit, tetapi lebih dari itu juga berfikir cara apa yang harus dilakukan
untuk kesembuhannya. Bukan sekedar berbagi es krim sambil tertawa dan bercanda
di taman, tapi hingga berfikir apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi
kebutuhannya esok, lusa dan nanti. Itu baru kebutuhan, lain lagi dengan
keinginan. Bukan sekedar berbagi tempat duduk, tapi bahkan berbagi setiap
ruang-ruang pribadi. Rumah, kamar, kamar mandi, bahkan tempat tidur. Bukan satu
dua hari, tapi seluruh sisa hidup kita. Dan yang lebih berat lagi (karena
memang tidak bisa dibilang ringan), dimana saya dapat memberikan perlindungan
dan keamanan serta kenyamanan menjalani kehidupan yang telah dipercayakannya
kepada saya. Benar, termasuk juga didalamnya materi; tempat tinggal, nafkah
lahir, dan sebagainya. Kadang tidak perlu mewah atau berlebihan, tetapi cukup
untuk memberikan kebahagiaan.
Bagaimanapun kondisi mental yang
tidak stabil saat berada dalam kehidupan pernikahan akan lebih banyak membawa
kedalam kesalahan. Tidak sedikit akhirnya membuahkan kekerasan akibat tekanan
yang terjadi setelah menikah. Tidak sedikit juga yang merasa kecewa dan
terlambat menyadari ternyata pasangannya adalah bukan seperti yang dibayangkan
sebelumnya. Perbedaan ideologi yang muncul setelah menikah, kemudian
menumbuhkan konflik, disertai egoisme, lalu akhirnya berpisah. Semua tidak
pernah terbayangkan sebelum menikah. Karena sekali lagi, saat itu semuanya
adalah keindahan.
4. Materi
Bagaimanapun tidak ada yang
mengharapkan hidup dalam tekanan materi. Bohong, kalau kita berkata makan
sepiring dua dengan cinta tetap akan bahagia. Dan mau tidak mau, dikatakan atau
tidak, setiap orang tua ingin anaknya mandiri pada saat masuk ke dalam
kehidupan pernikahan. Tidak lagi tergantung pada suntikan dana dari mereka.
Pada saat kita berkata saya akan
menikah kepada orang tua, maka yang terlintas di benak mereka adalah, ”anak
saya telah siap menjadi seseorang.” menjadi seseorang disini berarti kita
siap mempunyai hidup kita sendiri, bertanggung jawab terhadap diri sendiri
serta kerluarga kita, dan tidak lagi tergantung pada mereka.
Mau tidak mau materi selalu menjadi
bahan pertimbangan saat seseorang memutuskan akan menikah. Bayangkan, di negara
kita, dengan budaya kita, untuk menikah saja membutuhkan dana yang tidak
sedikit. Padahal dalam agama menikah itu tidak perlu mengeluarkan biaya yang
demikian besar. Selama syarat dan rukunnya terpenuhi pernikahan itu sudah sah.
Tapi siapkah anda dengan pendapat lingkungan dan masyarakat saat anda menikah
hanya secara agama saja? Sudah terlanjur mengakar jika kebanyakan orang di
sekitar kita lebih cenderung untuk menilai sesuatu secara negeatif. Dan
konsekuensi itu juga yang harus kita hadapi. Bahkan jika kita pernikahan kita
seperti yang kita lihat di film-film hollywood yang hanya prosesi dan sedikit
makanan kecil. Tetap saja akan terdengar nada-nada sumbang. Mengapa terjadi?
Karena masyarakat kita terbiasa dengan upacara yang ternyata membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Bukan hanya upacaranya, tetapi kemudian juga resepsinya.
Dana yang tidak sedikit bukan? Padahal masih banyak hal yang harus dilakukan
setelah upacara pernikahan itu selesai.
Telah dibahas sebelumnya mengenai
kebutuhan-kebutuhan pasca pernikahan. Ternyata hal-hal tersebut tidak hanya
secara mental, tetapi juga terkait secara signifikan dengan kebutuhan materi.
Bayangkan, dimana kita akan tinggal? Pondok mertua indah? Sewa rumah? Atau
memiliki rumah sendiri? Berapa biaya yang anda pelukan untuk itu?jika pun
tinggal bersama orang tua, apakah kita juga akan menggantungkan hidup kita
sehari-hari kepada mereka? Makan kita, minum kita, pakaian? Sampai kapan? Belum
lagi urusan kehamilan, persalinan, anak, tidak satupun yang lepas dari materi,
bukan!
Pada akhinya kita harus kembali pada
pemikiran bahwa pernikahan adalah sebuah keputusan jangka panjang yang harus
dipikirkan secara matang. Menikah muda atau mapan adalah pilihan bagi setiap
orang. Karena inti pernikahan tidak terletak dari berapa usia kita, atau berapa
banyak deposito yang kita miliki. Pernikahan perlu pemikiran yang lebih dari
itu. Saya teringat kata-kata yang disampaikan seorang sahabat, ”Tidak pernah
selesai jika kita menungu waktu yang tepat untuk menikah, kapan pun pernikahan
adalah sebuah keputusan. Saat kita memutuskan untuk melaksanakannya,
lakukanlah. Hari ini, besok atau lusa sama saja. Selama kita mantap dan siap
dengan semua konsekuensinya.”
Ya, mantap dan siap dengan semua
konsekuensinya. Akhirnya saya kembali berfikir, benar bahwa kedewasaan dan
kematangan mental tidak tergantung pada usia dan deposito yang kita miliki.
Tapi dari seberapa besar kita berani mengemban tanggung jawab besar atas sebuah
kehidupan. Tidak hanya kehidupan kita sendiri, tapi juga kehidupan orang lain,
pasangan hidup serta keturunan kita kelak ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar