Rabu, 27 Februari 2013

Arti cinta ,rindudan cemburu dalam islam


Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syar’i. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal ini adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya. Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.
Cinta (Al-Hubb)
Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah Sawmenganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah r.a berkata : “Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah Sawbertanya kepadaku : “Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata : “Belum”, maka beliau bersabda : “Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhirnya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua”
Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.
Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta. Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Swt :
["Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,..."] Ali-’Imran : 14
Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi Saw bersabda :
["Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian : wanita dan wangi-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat"] HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi.
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Swt tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas r.a berkata : telah bersabda Rasulullah Saw:
["Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pernikahan"]
Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena ‘pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramnya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Swt.
Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena apa yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab-sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti perkara yang telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tajawab, dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.
Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan olsebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun …..sangat sedikit mereka yang selamat.
Rindu (Al-’Isyq)
Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.
Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.
Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat. Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapat pahala.
Cemburu (Al-Ghairah)
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu termasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.
Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketika suaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab I). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan. Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Swt jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hal-hal tersebut, karena dorongan cemburu. Maka kami katakan padanya :
  • Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
  • Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
  • Bahwasanya Allah Swt telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski kita tidak mengetahui secara rinci.
Surga merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Swt
["Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan"] As-Sajdah : 17
Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Swt yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.
Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang-orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan dan keutamaan.
Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaituDayyuuts’. Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir r.a, serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dari Abdullah bin Amr r.a, dari Nabi Saw bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.
Wallahu a’lam

revrensi :
RaisaHakim.com

Jumat, 22 Februari 2013

Cara Mengurus Jenazah Sesuai Sunnah


Risalah Islam bersifat paripurna, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak ia belum menghirup udara dunia, sampai akhirnya kubur menjadi huniannya. Ini juga menjadi pesona khas, bagi agama yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam . Sekali lagi, sebagian keindahan Islam akan terbukti, dengan Anda menyimak sajian rubrik fiqih kali ini. (Redaksi)

A. HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT

1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.

Dari Abu Hurairah,dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً".أخرجه البخاري
Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya. 
[HR Al Bukhari].

Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.
Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. 
[Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma'az Zawa'id].

3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan kematian. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ انْقَطَعَ عَمَلُهُ وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan.
[HR Muslim].
4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja' (berharap).
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:
لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja') di dalam hati seseorang, dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah berikan rasa aman dari ketakutannya. 
[HR At Tirmidzi].

5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau zakatnya.

6. Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya 
[HR Al Bukhari].

Apabila hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak dari sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan untuk menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian seorang ahli waris daripada yang lain.

B. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT


1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah
[HR Muslim].

Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga
[HR Al Bukhari].

Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.

2. Berdo'a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيضَ أَوْ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan. 
[HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].
Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:

  • Terhentinya nafas.
  • Kedua pelipisnya melemas.
  • Hidung menjadi lunak.
  • Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
  • Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
  • Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
  • Tubuh menjadi dingin.
  • Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti' (5/331)].


Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.

3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya'ni Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari neraka." 
[HR Al Bukhari].

C. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA


1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya.
 Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu 'anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. 
[HR Muslim].

2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a'nha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris). 
[Muttafaqun 'alaih].

Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.

3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. 
[HR Abu Dawud].

Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan jenazahnya." Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.

Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/330), Al Mughni (3/367)].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti' 5/333].

4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya.
Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na'yu (pemberitaan) yang dilarang.

5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit.
Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur'an.

6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. 
Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. 
[HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].

Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.

7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh'un Radhiyallahu 'anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. 
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu, beliau mencium Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau meninggal dunia.

D. MEMANDIKAN MAYIT


1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi  Shallallahu 'alaihi wa sallam  tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun 'alaih].

2. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.

Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma' binti Umais, kemudian dia (Asma' binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha', Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.

Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu.
 [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki." Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].

5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.
[At Taubah:84].

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].

6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja' terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu' seperti wudhu' ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.

Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: "Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur." Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70 Su'alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al 'Utsaimin, hlm. 6].

7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.

8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu'nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].

9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.

10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu'.
[HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].

11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. 
[HR Al Bukhari].

Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha'un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/364).

12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu':


وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido'akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. 
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud.

E. MENGKAFANI MAYIT


1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :

إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya
[HR Muslim].

Ulama berkata: "Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah." [Ahkamul Janaiz, 58].

2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:

....وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
… Kafanilah dia dengan dua bajunya. 
[Muttafaqun 'alaih]
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush'ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.

3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.

Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali
[HR Ahmad].

4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur'annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.

5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: "Dalam hal ini telah ada hadits marfu' (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain." Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.

F. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)


1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. 
[HR Muslim].
2.Tata cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni
[HR At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta'awwudz, tidak membaca do'a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do'a untuk mayit. Sebaik-baik do'a adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. 
[HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:
اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya.
[HR Abu Dawud].

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka
[HR Muslim dari 'Auf bin Malik]
Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….

(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ....)

c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: "Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas'ud.

ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ
(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah n , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
 Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.

Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali.
 (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). 
Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul 'Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.

d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau  mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu', karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Ibnu Hajar berkata: "Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah." [Diriwayatkan oleh Sa'id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].

3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits 'Uqbah bin 'Amir.

4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama'ah. Dan tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah radhiyallahu 'anha menyalatkan jenazah Sa'ad bin Abi Waqqash.

5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.

6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo'akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa'at untuknya. 
[HR Muslim].

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafa'at kepada mereka untuknya. 
[HR Muslim].

7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Apabila dia salam dan tidak mengqadha', tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,'Tidak mengqadha'. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri'." [Lihat Al Mughni (2/511)].

8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama'ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma'ad (1/512)].

Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.

9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a'lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/520)].

10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkannya.

11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. 
[HR Abu Dawud].
Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu , berkata:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya
[HR Muslim].

Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.

12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.

13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , beliau berkata:

وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
Demi, Allah! Tidaklah Nabi  Shallallahu 'alaihi wa sallam  menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha' dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid. 
[HR Muslim].

Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti' (5/444)].

G. MENGIRINGI JENAZAH


1. Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang muslim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ (وَفِي رِوَايَةٍ: يَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (رواه البخاري ومسلم)
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu): menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangannya dan mendo'akan orang yang bersin. 
[HR Bukhari dan Muslim].

2. Keutamaan mengiringi jenazah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
(رواه مسلم)
Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti dua gunung yang besar.
 [HR Muslim].

3. Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
 (رواه مسلم)
Bersegaralah kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih, maka kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang shalih, maka kalian segera meletakkan kejelekan dari punggung-punggung kalian
[HR Muslim].

Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar ketika mengangkat mayit adalah berjalan sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, Red.). Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera, maksudnya tidak terlalu cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang menjelaskan untuk sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat lambat. Maka (makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta'liqat Ar Radhiyyah, Syaikh Al Albani, hlm. 1/ 454].

4. Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan sifat tarbi', yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu,

مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ
 (رواه ابن ماجه)
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan
[HR Ibnu Majah].

Sementara itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Menurutku, yang rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam mengangkat jenazah. Maka hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak memberatkan dirinya. Terkadang sifat tarbi' sulit untuk dikerjakan ketika banyak sekali orang yang mengiringi jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang mengangkat dan orang yang lain." [Lihat Asy Syarhul Mumti', hlm. 447]

5. Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki. Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:

نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
 (رواه البخاري)
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada kami. 
[HR Bukhari].

6. Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya.
Keduanya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ وَاتَّبِعُوْا الْجَنَائِزَ 
(أخرجه الهيثمي)
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah
[Dikeluarkan oleh Al Haitsami].

Dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali Radhiyallahu 'anhu :
الْمَشْيُ خَلْفَهَا أَفْضَلُ مِنْ الْمَشْيِ أَمَامَهَا كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فَذًّا
(أخرجه ابن أبي شيبة)
Berjalan di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di belakangnya seperti keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian
[Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah].

Sedangkan orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الرَّاكِبُ يَسِيرُ خَلْفَ الْجَنَازَةِ 
(رواه أبو داود)
Seorang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. 
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Yang lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tsauban Radhiyallahu 'anhu, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiringi jenazah, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ كَانَتْ تَمْشِي فَلَمْ أَكُنْ لِأَرْكَبَ وَهُمْ يَمْشُونَ فَلَمَّا ذَهَبُوا رَكِبْتُ 
(رواه أبو داود)
Sesungguhnya malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai sedangkan malaikat berjalan. Kemudian ketika mereka pergi, aku mau mengendarainya. 
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan, berjalan kaki di depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Disunnahkan bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di belakangnya. Apabila berjalan kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah, di belakangnya atau di depannya atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersegera ketika mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu sungguh berjalan dengan cepat. Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang dengan melangkah setapak demi setapak merupakan bid'ah yang dibenci lagi menyelisihi syari'at, dan menyerupai Ahli Kitab dari Yahudi." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/498)].

7. Tidak diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah.
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau yang lain. Hal ini merupakan madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari salaf, dari para sahabat dan tabi'in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya." [Lihat Majmu' Fatawa (24/293,294)].

8. Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar, seperti memukul kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap dan yang lainnya. Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika jenazah diberangkatkan ke kuburan.

9. Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran, sedangkan dia tidak mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap mengikuti jenazah tersebut, demikian menurut pendapat yang benar.

Pendapat ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan dia mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyah Minal Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hlm. 132].

10. Tidak mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila kuburan letaknya jauh.
Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu' menghayati kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak membicarakan masalah duniawi.

11. Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اتَّبَعْتُمْ جَنَازَةً فَلَا تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ 
(رواه البخاري ومسلم)
Apabila kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan.
 [HR Bukhari dan Muslim].

12. Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
 (رواه أبو داود والترمذي)
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’. 
[HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].

H. MENGUBUR MAYAT


1. Mengangkat dan mengubur mayat merupakan suatu penghormatan kepadanya. Dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Allah berfirman:

أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَآءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah telah Kami jadikan tanah sebagai pelindung bagi kalian. Dalam keadaan hidup dan mati. [Al Mursalat:25, 26]

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
Kemudian Allah mematikan dan menguburkannya.
 ['Abasa:21]

2.Yang menguburkan mayat adalah kaum lelaki, meskipun mayat tersebut wanita. Hal ini karena beberapa hal:

  • Bahwasanya hal ini dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pada zaman sekarang.
  • Karena kaum lelaki lebih kuat untuk mengerjakannya.
  • Jika hal ini dikerjakan oleh kaum wanita, maka akan menyebabkan terbukanya aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya.

Dalam masalah ini, wali dari mayit merupakan orang yang paling berhak menguburkannya, berdasarkan keumuman firman Allah:

وَأُوْلُوا اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ
Dan orang yang memiliki hubungan kerabat sebagian diantara mereka lebih berhak daripada yang lain
[Al Anfal:75].

3. Disunnahkan untuk mengubur mayat di kuburan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu mengubur para sahabatnya di kuburan baqi'. Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun dari salaf bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengubur seseorang di selain kuburan, kecuali sesuatu yang telah mutawatir bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dikubur di kamarnya. Karena hal ini merupakan kekhususan Beliau. Sebagaimana hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau berkata:

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ فَدَفَنُوْهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ 
(رواه الترمذي)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat berselisih pendapat dalam masalah tempat untuk mengubur Beliau. Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu berkata,”Saya mendengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuatu yang aku belum lupa. Beliau bersabda,’Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi, kecuali di tempat tersebut wajib untuk dikubur’.” Kemudian mereka mengubur Beliau di tempat tidurnya. 
[HR At Tirmidzi].

Orang yang mati syahid dikubur di tempat dia meninggal dunia. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengembalikan syuhada' Uhud supaya dikubur di tempat mereka terbunuh. Padahal sebagian syuhada' sudah dibawa pulang ke Madinah.

4. Disunnahkan untuk memperluas dan mendalamkan kuburan.
Karena diriwayatkan dari Hisyam bin 'Amir Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dikeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang mati terluka pada perang Uhud. Kemudian Beliau bersabda:
احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا وَأَحْسِنُوا ...
 (رواه الترمذي)
Galilah dan luaskanlah, dan baguskanlah kuburan mereka
[HR At Tirmidzi].

Karena yang demikian lebih tertutup bagi mayit dan lebih terjaga dari binatang buas, dan baunya tidak akan mengganggu orang yang hidup.

5. Diperbolehkan duduk di dekat kuburan ketika mayat sedang dikubur, untuk mengingatkan orang yang hadir terhadap kematian.

6. Diperbolehkan untuk mengubur mayat di setiap waktu, dan makruh hukumnya mengubur mayat pada tiga waktu yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam shalat jenazah, kecuali jika karena adanya darurat.

Dan diperbolehkan mengubur mayat pada malam hari. Karena hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu di dalam Al Bukhari dan Muslim. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Telah mati seseorang yang dahulu Nabi menjenguknya. Mati pada malam hari, kemudian para sahabat menguburnya pada malam itu juga. Ketika pagi, Beliau bertanya, ’Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?’ Kemudian Beliau mendatangi kuburnya, dan Beliau shalat jenazah di kuburan.” Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka mengubur pada malam hari. [Lihat fatwa Lajnah Da'imah di dalam Fatawa Islamiyyah (2/34)].

7.Disunnahkan bagi orang yang memasukkan mayat untuk berdo'a.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي قُبُوْرِهِمْ فَقُوْلُوْا بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْلِ اللهِ 
(رواه الحاكم)
Apabila kalian meletakkan jenazah di kuburnya, maka ucapkanlah:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْل اللهِ (dengan nama Allah dan di atas agama Muhammad). [HR Al Hakim].

8. Diletakkan mayat di kuburnya di atas bagian tubuhnya yang kanan, sedangkan wajahnya menghadap ke arah kiblat. Hal ini yang dikerjakan oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sekarang, dan yang dilakukan di seluruh kuburan. [Lihat Ahkamul Janaiz, 151].

9. Disunnahkan bagi orang yang ada di kuburan untuk melempar tanah tiga kali dengan kedua tangannya setelah selesai menutup lahad. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ ثُمَّ أَتَى قَبْرَ الْمَيِّتِ فَحَثَى عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ ثَلَاثًا 
(رواه ابن ماجه)
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu menyalatkan jenazah, kemudian Beliau melemparkan tanah dari arah kepalanya tiga kali. 
[HR Ibnu Majah].

10. Setelah mengubur mayit, disunnahkan beberapa hal:

  • Untuk meninggikan kuburan sedikit dari tanah sekedar satu jengkal, dan tidak diratakan dengan tanah supaya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa terjaga dan tidak dihinakan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :

أن النبي صلى الله عليه وسلم ألحد له لحدا ونصب عليه اللبن نصبا ورفع قبره من الأرض نحوا من شبر
 (رواه ابن حبان والبيهقي)
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggali liang lahad dan menancapkan batu bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal.
 [HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

  • Hendaknya kuburan dijadikan membulat bagian permukaannya (seperi punuk onta). Karena di dalam hadits Sufyan At Tammar disebutkan:

رَأَيْتُ قَبْرَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَقَبْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ) مَسَنَّمًا
 (رواه البخاري)
Aku melihat kubur Nabi (dan kubur Abu Bakar dan Umar) membulat. 
[HR Bukhari].

  • Agar diberi suatu tanda dengan batu atau yang lainnya, supaya dikuburkan di dekatnya orang yang mati dari keluarganya. Karena ketika Utsman bin Madh'un meninggal dunia, beliau meminta untuk diambilkan sebuah batu, kemudian beliau meletakkannya di dekat kepalanya. Dan beliau bersabda:


أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي
 (رواه أبو داود)
Supaya aku mengetahui kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di dekatnya orang yang mati dari keluargaku. 
[HR Abu Dawud].


  • Tidak diperbolehkan mentalqin mayit setelah dikubur, sebagaimana talqin yang dikenal pada zaman sekarang, yaitu dengan menuntun syahadat la ilah illallah. Akan tetapi, hendaklah berdiri di dekat kubur kemudian berdo'a. Dan orang yang hadir agar memintakan ampunan bagi mayit. Di dalam hadits Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
 (رواه أبو داود)
Dahulu, apabila Nabi selesai dari mengubur mayit, Beliau berdiri di dekatnya dan bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakan supaya dia diberikan keteguhan, karena sekarang ini dia sedang ditanya". 
[HR Abu Dawud].

Setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa adanya komando (berjamaah). [Lihat Ahkamul Janaiz (153-156), Ash Shalat, Dr. Abdullah Ath Thayyar, hlm. 289].

11. Diperbolehkan untuk mengeluarkan (membongkar kembali) mayat dari dalam kuburnya untuk tujuan yang benar, seperti kalau dia dikubur sebelum dimandikan dan dikafani.

12. Bagi seseorang tidak disunnahkan untuk menggali kuburnya sebelum dia mati. Karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakan perbuatan seperti ini. Dan seseorang tidak mengetahui kapan dan dimana dia akan mati. Apabila maksudnya untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian, maka hal ini dengan mengamalkan amal shalih. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, hlm. 134].

13. Tidak diperbolehkan menulis sesuatu di atas kuburan.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ
(رواه الترمذي)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang di atas kuburan diberi warna dan ditulis sesuatu. Dan Beliau melarang di atasnya dibangun dan diinjak.
 [HR At Tirmidzi].

14. Tidak boleh mengubur orang kafir di kuburan kaum muslimin dan sebaliknya.

15. Tidak boleh menambahkan sesuatu di atas kuburan, baik dengan tanah atau bangunan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu yang marfu', beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ... 
(رواه النسائي)
Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau ditambahkan kepadanya tanah
[HR An Nasa-i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

16. Dibenci berjalan di atas kuburan dengan mengenakan alas kaki tanpa ada udzur. Namun apabila ada udzur, seperti tempatnya sangat panas atau terdapat banyak duri, maka tidak mengapa berjalan dengan mengenakan sandal. Didalam hadits Basyir bin Nahik (bekas budak Rasulullah), ia berkata:

بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي الْقُبُورِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
 (رواه أبو داود)
Ketika aku berjalan bersama Rasulullah n , tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di kuburan dengan mengenakan sandal. Kemudian Beliau bersabda: “Wahai, orang yang mengenakan sandal! Celakalah engkau! Lepaskanlah dua sandalmu!” Kemudian lelaki tersebut melihat sandalnya. ketika dia melihat Rasulullah melepas sandalnya, maka dia melepas dan melempar kedua sandalnya
[HR Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

17. Diharamkan memasang lampu di kuburan.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ 
(رواه أبو داود و الترمذي)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang ziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan orang yang memasang lampu padanya. 
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

18. Tidak diperbolehkan buang hajat di kuburan.

19. Diharamkan mengubur satu mayat di atas kuburan orang lain, kecuali diperkirakan kuburan yang pertama sudah menjadi tanah. Dalilnya, ialah apa yang dikerjakan kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman sekarang, bahwa seseorang di kuburnya sendirian.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tidak ada bedanya ketika mengubur dalam satu waktu, yaitu dimasukkan dua kuburan secara bersamaan atau hari ini dikubur seseorang kemudian besok dikubur orang lain,” kemudian beliau berkata: “Kecuali dalam keadaan darurat, seperti banyaknya orang yang mati, kemudian orang yang menguburnya sedikit. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa apabila dimasukkan dua atau tiga orang dalam satu kuburan.” [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/461)].

20. Disunnahkan untuk mengumpulkan kerabat yang mati di satu pekuburan, dan haram hukumnya mengumpulkan beberapa mayat dalam satu liang lahad, kecuali ada hal darurat.

21. Diharamkan menyembelih dan makan dari sembelihan tersebut di kuburan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar, atau dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap tidak sah. Karena hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah:

لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ
 (رواه أبو داود)
Tidak ada sembelihan untuk si mayat dalam agama Islam
[HR Abu Dawud].

Dan beliau berkata: “Mengeluarkan shadaqah ketika mengiringi jenazah merupakan perbuatan yang dibenci, karena menyerupai menyembelih di kuburan.” [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, 135].

22. Tidak boleh membaca Al Qur'an di kuburan. Karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya. Maka perbuatan ini termasuk bid'ah.

23. Tidak boleh meletakkan pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Karena hal ini termasuk bid'ah dan berprasangka yang jelek kepada mayit.
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan pelepah kurma di atas dua kuburan ketika Beliau mengetahui bahwa keduanya sedang disiksa. Adapun kita tidak mengetahui hal tersebut.

24. Tidak boleh meletakkan kain hijau di atas keranda yang tertuliskan ayat kursi. Karena hal ini termasuk meremehkan terhadap ayat-ayat Allah.
Hal ini tidak pernah ada di dalam Sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh seorang pun di antara para sahabat dan tabi'in. Seandainya perbuatan seperti ini baik, pasti mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Terlebih lagi apabila terdapat keyakinan yang salah bahwa perbuatan ini akan bermanfaat bagi si mayit. Padahal yang benar, tidak akan bermanfaat sama sekali bagi si mayit. [Lihat Ash Shalat, hlm. 293].

I. TAKZIYAH KEPADA KELUARGA MAYIT


Harus kita ketahui, kematian adalah taqdir dan ketentuan dari Allah. Dia berfirman:

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepadaNya, niscaya Allah akan memberi petunjuk hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 
[At Taghabun:11].

Apabila seseorang yakin ketika dia tertimpa musibah, kehilangan suami atau anak dan kerabatnya, bahwa semua itu dengan ijin dari Allah, maka Allah akan memberikan taufik kepada hatinya untuk rela terhadap taqdirNya.
Adapun yang dimaksud dengan takziyah, yaitu menghibur keluarga mayit dengan menganjurkan supaya mereka bersabar terhadap taqdir Allah dan mengharapkan pahala dariNya. Waktu takziyah, dimulai ketika terjadinya kematian, baik sebelum dan setelah mayat dikubur, sehingga hilang dan terlupakan kesedihan mereka.

1. Takziyah kepada keluarga mayit adalah Sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه ابن ماجه)
Tidak ada seorang mukmin yang memberikan takziyah kepada saudaranya dalam suatu musibah, kecuali Allah akan memberikan kepadanya dari pakaian kehormatan pada hari kiamat. 
[HR Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani]

2. Sebaik-baik ucapan takziyah adalah takziyah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya Zainab, ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa bayinya meninggal dunia. Beliau bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
(رواه البخاري)
Sesungguhnya milik Allah untuk mengambilnya dan milikNya untuk diberikan, dan segala sesuatu disisiNya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya. Maka, hendaknya engkau sabar dan ihtisab. 
[HR Bukhari].

3. Disunnahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit, karena mereka sibuk dengan musibah yang menimpanya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan hal itu, ketika Ja'far bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mati syahid. Beliau bersabda:
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ 
(رواه أبو داود)
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang perkara yang menyibukkan mereka. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

Keluarga mayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang yang datang, karena hal ini akan menambah atas musibah mereka dan menyerupai perbuatan orang jahiliyah. Yakni termasuk niyahah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, beliau berkata:

كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
 (رواه ابن ماجه)
Kami dahulu menganggap berkumpul di tempat keluarga mayit, dan mereka membuatkan makanan kepada orang yang datang termasuk niyahah.
[HR Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

4. Tidak boleh sengaja berkumpul untuk takziyah di tempat manapun juga, baik di rumah atau di tempat yang lain, dan tidak boleh juga mengumumkannya, karena tidak ada dalilnya. Dan sebagian Salaf menganggap, bahwa hal ini termasuk niyahah (meratap).

5. Tidak diperbolehkan membaca Al Qur'an ketika takziyah, terlebih menyewa orang-orang untuk membaca Al Qur’an dan berkumpul dengan suatu hidangan makanan sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum muslimin.

6. Ketika takziyah, tidak boleh mengkhususkan pakaian dengan satu warna tertentu, seperti warna hitam. Karena hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Salaf.

7. Bagi orang yang sedih, tidak boleh merobek bajunya atau menampar pipinya atau berteriak dengan ucapan jahiliyah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ 
(رواه مسلم)
Tidak termasuk dari golongan kami orang yang memukul pipinya atau merobek bajunya atau menyeru dengan seruan jahiliyah. 
(HR Muslim).

Dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu , beliau berkata:


أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنْ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ
(رواه البخاري)
Saya berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas diri dari orang yang mengangkat suaranya ketika tertimpa musibah dan orang yang mencukur rambutnya dan orang yang merobek bajunya. 
[HR Bukhari].

8. Diperbolehkan menangis, Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menangis ketika Ibrahim, putra Beliau meninggal dunia. Beliau bersabda:

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَكِنْ لَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
 (رواه البخاري ومسلم)
Air mata mengalir dan hati menjadi sedih, akan tetapi kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Allah. Dan kami sungguh sedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim
[HR Bukhari dan Muslim].

Selama tidak adanya nadab (yakni menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan huruf nadab, yaitu "ya") dan niyahah (yakni meratapi mayit dengan mengeraskan suara dengan satu alunan). [Lihat Asy Syarhul Mumti' (489/493)].

9. Para ulama telah sepakat haramnya niyahah, yaitu dengan menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan mengeraskan suaranya. Karena dalam hal ini terdapat perbuatan jahiliyah, serta tidak menerima terhadap taqdir dan ketentuan Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
(رواه مسلم)
Orang yang meratap apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat, sedangkan pada tubuhnya pakaian dari ter dan baju besi dari kudis. [HR Muslim].

Dan dari Umar Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ 
(رواه مسلم)
Seorang mayit akan disiksa di kuburnya dengan sebab niyahah yang ditujukan kepadanya
[HR Muslim].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu,

أَنَّ حَفْصَةَ بَكَتْ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ مَهْلًا يَا بُنَيَّةُ أَلَمْ تَعْلَمِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ (رواه مسلم
Sesungguhnya Hafshah menangisi kematian Umar.” Beliau berkata,”Sabarlah, wahai saudariku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya’.”
 [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Menurut pendapat yang benar, bahwa mayit akan tersiksa karena tangisan yang ditujukan kepadanya sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits yang shahih.” [Lihat Majmu' Fatawa (24/369,370)].

10. Tidak diperbolehkan mencela orang yang sudah meninggal dunia.
Dari 'Aisyah, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
 (رواه البخاري)
Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati, karena mereka mendapatkan dari apa yang telah mereka kerjakan.
[HR Bukhari].

11. Disunnahkan untuk ziarah kubur dengan tujuan untuk mengambil pelajaran dan mengingatkan kematian, meskipun ziarah kubur orang yang mati dalam keadaan kafir.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:


زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
 (رواه مسلم)
Nabi ziarah kubur ibunya. Beliau menangis dan membuat orang-orang yang di sampingnya menangis. Beliau bersabda,”Aku telah minta ijin dari Rabb-ku untuk memohonkan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Allah tidak mengijinkanku. Kemudian aku minta ijin untuk ziarah ke kuburannya, maka Allah mengijinkan kepadaku. Ziarahlah kalian ke kuburan, karena akan mengingatkan kalian kepada kematian
[HR Muslim].

12. Disunnahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk mengucapkan do'a.
Diantara do'a yang masyru', dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha :

السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ 
(رواه مسلم)
Semoga keselamatan bagi kalian yang tinggal di sini dari kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang kemudian. Dan kami, insya Allah akan menyusul kalian.
[HR Muslim].

Dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Dahulu Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat, apabila mereka keluar ke kuburan, maka satu diantara mereka berdo'a:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ( بِكُمْ ) لَلَاحِقُونَ ( أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ ) أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ 
(رواه مسلم)
Semoga keselamatan bagi kalian yang ada di sini dari kaum mukminin dan muslimin. Dan kami, insya Allah, sungguh akan menyusul kalian. Kalian lebih dahulu daripada kami dan kami mengikuti kalian. Saya minta kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan kalian
[HR Muslim].

13. Tidak boleh bagi wanita untuk ihdad (berkabung) lebih dari tiga hari, kecuali apabila ditinggal mati suaminya; maka dia ihdad selama empat bulan sepuluh hari. Kecuali apabila dia hamil, maka selesai masa ihdadnya ketika dia melahirkan kandungannya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: "Telah menjadi kebiasaan di beberapa negara Islam pada zaman sekarang adanya perintah untuk ihdad (berkabung) karena meninggalnya seorang raja atau pemimpin selama tiga hari atau kurang atau lebih, disertai dengan liburnya kantor-kantor pemerintahan dan pengibaran bendera. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menyelisihi syari'at Islam dan tasyabbuh dengan musuh-musuh Islam. Padahal telah datang hadits-hadits yang shahih yang melarang dan memperingatkan tentang ihdad, kecuali bagi seorang istri, (dia) diperbolehkan ihdad ketika ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana boleh bagi wanita untuk ihdad tidak lebih dari tiga hari, apabila ada kerabatnya yang mati. Adapun selain itu, maka dilarang. Dan tidak ada tuntunannya di dalam syari'at yang sempurna ini dalil yang membolehkan ihdad terhadap seorang raja atau pemimpin atau orang lain. Padahal telah meninggal dunia pada zaman Nabi putra Beliau, (yaitu) Ibrahim dan tiga orang putrinya, dan Beliau tidak pernah ihdad sama sekali. Dan pada waktu itu, terbunuh panglima-panglima perang Mu'tah, Beliau pun tidak ihdad. Kemudian Beliau wafat, sedangkan Beliau makhluk yang paling mulia. Kematian Beliau merupakan musibah yang paling besar. Akan tetapi, tidak seorangpun diantara sahabat yang melakukan ihdad…." [Lihat Majmu Al Fatawa (1/415)].

14. Ada beberapa amalan orang hidup yang akan bermanfaat bagi mayit. Diantaranya:

  1. Do'a seorang muslim untuknya.
  2. Apabila walinya mengqadha' puasa nadzarnya.
  3. Apabila walinya atau orang lain melunasi hutangnya.
  4. Amal yang dikerjakan oleh anaknya yang shalih, maka kedua orang tuanya akan memperoleh pahala yang serupa.
  5. Amalan shalih dan shadaqah jariyah


Demikianlah beberapa hal yang dimudahkan Allah untuk kami kumpulkan. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi dan para penuntut ilmu, serta kaum muslimin pada umumnya. Silahkan lihat tutorial video dan gambar penyelenggaraan jenazah  agar mudah memahaminya. Wa billahit taufiq.


Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11-12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Sumber: http://almanhaj.or.id pada Kategori Fiqih : Jenazah dan Maut