Beberapa
anak-anak peserta bimbingan belajar itu tampak sangat mengantuk, tak
jarang mereka menguap dan secara tidak sadar kepala mereka telah berada
di atas meja. Padahal, sebelum bimbingan belajar berlangsung, mereka
bermain dengan riang dan gembira seakan tidak ada lelahnya. Apakah
mereka kelelahan karena asyik bermain? Atau karena aktivitas sekolah?
Mungkinkah belajar itu lebih melelahkan daripada olahraga?
Salah seorang pakar ilmu jiwa, Dr. Dale Carnegie menjawab
situasi seperti ini melalui analisa kejiwaan. Menurut beliau, otak
adalah organ tubuh yang tidak akan mengalami lelah. Otak berbeda dengan
organ tubuh lainnya yang jika melakukan pekerjaan akan mengalami capek
dan lelah. Oleh sebab itu, otak manusia tidak akan mungkin merasa lelah
walau digunakan untuk berpikir dan belajar selama sehari semalam.
Kelelahan otak terjadi akibat dari rasa bosan dan penat yang dialami
seseorang. Perasaan bosan dan penat inilah yang menyebabkan seseorang
cepat merasa lelah dan ingin menghentikan pekerjaannya untuk kemudian
beristirahat. Untuk lebih jelasnya, Carnegie memberikan analogi
sederhana untuk mendeskripsikan
Ada seorang karyawan bekerja di suatu perusahaan yang
lokasinya relatif tidak jauh dari rumahnya, dan jika pulang kerja, ia
tampak begitu lelah hingga ketika sampai di rumah, ia langsung menuju ke
kamar untuk tidur. Namun, ketika ada telepon dari kawannya menawarkan
untuk pergi tamasya ke tempat wisata yang jauh, seketika itu juga
rasanya ia sanggup untuk pergi ke tujuan wisata yang relatif jauh dari
rumahnya. Orang tersebut merasa lelah karena rutinitas membosankan yang
dilalui selama ia bekerja. Ketika ia diajak untuk melakukan hal yang
digemarinya ternyata rasa capek itu seolah sirna.
Hal yang semacam ini kerap kali dialami para siswa. Tidak
sedikit diantara mereka yang mengantuk ketika pelajaran sedang
berlangsung. Celakanya, ketiduran di kelas membuat dampak negatif yang
besar jika pelajaran yang penting tersebut belum dipahami oleh siswa.
Oleh karena itulah, agar tujuan belajar tercapai sesuai dengan target
yang ditentukan, para guru dan pengajar hendaknya mengetahui hal-hal
yang dapat menyebabkan kebosanan dan kepenatan dalam proses belajar
mengajar.
Secara umum, ada 4 faktor penyebab para siswa bosan dalam belajar, antara lain:
1. Jenis Pelajaran
Setiap mata pelajaran memiliki karateristik masing-masing
dan mengandung kekhususan yang membedakan satu mata pelajaran dengan
mata pelajaran yang lainnya. Maka dari itu, cara pengajaran tiap mata
pelajaran itu berbeda-beda. Ada yang penyampaiannya dapat dilakukan
hanya teoritis saja, ada yang memerlukan praktik, bahkan ada yang harus
melakukan eksperimen atau percobaan.
Dalam sudut pandang ilmu didaktik, para pengajar harus
menerapkan metode yang tepat agar pelajaran yang ia sampaikan tidak
monoton dan membosankan. Ada beberapa pelajaran yang “rawan” dalam hal
ini, biasanya pelajaran-pelajaran yang memerlukan metode penyampaian
satu arah cenderung lebih membosankan daripada metode belajar dua arah,
seperti Sosiologi, Sejarah, dan Ekonomi. Dalam mata pelajaran Sosiologi
yang berisi analisa dari para sosiolog tentang gejala-gejala yang timbul
dalam masyarakat, jika sang pengajar menjelaskan pelajaran ini dengan
gaya yang monoton, tidak jarang akan menimbulkan perasaan bosan yang
dapat memecah konsentrasi belajar para siswa. Demikian juga dengan ilmu
Sejarah, jika guru tidak pandai menerangkan dan menyampaikannya kepada
para siswa, bisa-bisa malah menjadi dongeng empuk pengantar tidur.
Pelajaran-pelajaran eksak memang tak menggunakan metode
pengajaran satu arah, karena harus disampaikan dengan metode latihan dan
eksperimen. Namun tak jarang guru malah menerapkan metode pengajaran
satu arah. Bila pelajaran Kimia umpamanya diajarkan hanya melalui
penjelasan lisan dari pengajar, tentu akan menimbulkan kepenatan luar
biasa di kalangan murid.
Jadi, metode satu arah dapat diterapkan asal menggunakan
cara yang interaktif, motivatif, inspiratif, dan membangun karakter
murid, karena cara ini akan mengikutsertakan siswa dalam proses belajar
mengajar yang tentunya memacu konsentrasi siswa dalam menyerap
pelajaran.
2. Kurangnya rangsangan keaktifan siswa dalam belajar
Tingkat kecerdasan setiap siswa berebeda-beda. Ada siswa
yang cerdas sehingga mampu menyerap pelajaran dalam sekali penyampaian,
dan ada juga siswa yang harus mendapat berulang kali pengarahan baru ia
mengerti dan memahami suatu pelajaran. Siswa yang mampu menyerap
pelajaran dengan mudah bisanya lebih aktif daripada siswa yang kurang
mampu menyerap pelajaran dengan baik, hal ini karena kebanyakan mereka
menganggap bahwa dirinya tidak akan bisa memahami pelajaran ( rendah
diri ). Ini menjadi penyebab terpenting dalam membangun kebosanan bagi
siswa. Oleh karena itu, setiap guru dituntut untuk merangsang keaktifan
para siswa.
Contoh mudah adalah dengan membuat sebuah game sederhana
yang memacu keaktifan pelajar, berupa kuis yang berisi pertanyaan logika
atau hal-hal menyenangkan lainnya. Yang penting adalah, sedapat mungkin
para guru membuat semua siswa aktif dalam belajar dengan membuat
kegiatan yang mengasyikkan. Jangan biarkan para siswa belajar secara
pasif. Sebagaimana yang telah disinggung di poin pertama, hendaknya
setiap murid diikutsertakan dalam proses pembelajaran, sebab hal ini
sangat menguntungkan bagi guru dan murid, karena guru dan murid
masing-masing akan mengetahui kelemahannya untuk kemudian dievaluasi
agar tercipta proses belajar mengajar yang lebih baik.
3. Pendekatan yang salah
Seringkali seorang guru mencoba untuk membangun image yang menjadikan dirinya berwibawa. Namun banyak guru salah kaprah dalam menerapkan image
ini. Bukannya bertambah wibawa, tidak jarang malah mereka menjadi
olok-olokan di kalangan siswa. Ini terjadi karena para pengajar sering
melakukan pendekatan yang salah terhadap para muridnya.
Masih menurut Dr. Carnegie, tidak ada seorang manusia pun
yang rela direndahkan derajatnya dan harga dirinya. Oleh sebab itu, jika
seorang guru membangun wibawanya dengan cara menyombongkan dirinya dan
menjatuhkan harga diri siswanya melalui kata-kata yang menunjukkan bahwa
hanya sang gurulah yang benar, maka penjelasan dari guru tersebut tidak
akan pernah didengar oleh para siswa, sebaliknya mereka akan mencari
kesibukan masing-masing atau bahkan mereka tidur di kelas. Demikian
halnya jika sang guru memberi kesan agar murid-murid takut kepadanya,
yang terjadi adalah para murid hanya akan hormat sesaat kepada sang guru
yaitu pada saat jam pelajaran sedang berlangsung, akan tetapi di luar
itu sang guru tersebut menjadi bahan olok-olokan dan bahan tertawaan
bagi siswanya. Jadilah guru yang disegani bukan ditakuti, karena kalau
disegani walaupun gurunya tidak ada mereka tetap hormat, tapi kalau
ditakuti, begitu gurunya tidak ada langsung menjadi bahan tertawaan.
Pendekatan semacam ini menyebabkan guru sering menganggap
remeh kepada muridnya, sehingga ia pun mengajarkan hal-hal yang
sebenarnya telah diketahui oleh siswanya, dan yang lebih parahnya lagi,
apa yang ia ajarkan itu terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Jika
ini terjadi, maka dapat dipastikan murid tidak akan mau berkonsentrasi,
sebab ia merasa telah memahami permasalahan tersebut lebih baik daripada
gurunya.
Padahal sebagai seorang guru yang baik, sudah seharusnyalah
untuk berlaku adil. Maksudnya, walaupun secara perhitungan kasar
mayoritas siswanya berpengetahuan rendah, tapi tetap ada beberapa siswa
yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata, mereka juga mempunyai hak
untuk diberi pelajaran yang lebih baik, dan setiap guru harus mampu
mengayomi minat belajar siswanya.
Dalam ilmu retorika, seorang pembicara akan sukses bila apa
yang ia sampaikan betul-betul dapat mengubah pikiran orang lain, dan
ini hanya akan terjadi, bila sang pembicara mampu menarik minat
pendengar, yaitu dengan cara melakukan pendekatan yang sesuai dengan
keinginan pendengar. Hal inilah yang harus dipelajari setiap guru agar
sukses dalam menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya.
4. Kondisi kejiwaan yang sedang memburuk
Kondisi fisik yang baik belum tentu akan menghasilkan
perbuatan yang baik pula, walaupun pepatah berkata bahwa di dalam tubuh
yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula, namun faktanya sering
berlainan. Maka kondisi kejiwaan ( mood ) harus benar- benar sesuai agar
menciptakan hasil yang sesuai pula. Manusia sebagai makhluk yang cerdas
sebenarnya lebih sering dipengaruhi oleh keadaan jiwa dalam melakukan
suatu pekerjaan. Maka dari itu, guru haruslah mengetahui mood
murid-muridnya, jangan-jangan murid tersebut sedang ada masalah di luar
sekolah, entah di rumah atau di tempat lainnya. Adakanlah bimbingan
konseling untuk mengatasinya, jadikanlah sekolah sebagai tempat yang
nyaman dan melindunginya, ini akan membantu untuk meningkatkan gairah
dan semangat belajarnya.
Sebagai penutup, hindarilah keempat hal di atas agar
tercipta suasana belajar yang menjadi idaman semua orang. Ingatlah,
belajar yang baik itu tidak penting mahal atau fasilitasnya harus
canggih, karena hal tersebut tidak menjamin proses belajar yang efektif
tanpa adanya metode belajar yang baik, tapi yang terpenting adalah
bagaimana caranya kita untuk menjadikan belajar itu menjadi
menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar