Risalah Islam bersifat paripurna, menyentuh seluruh aspek kehidupan
manusia dari sejak ia belum menghirup udara dunia, sampai akhirnya kubur
menjadi huniannya. Ini juga menjadi pesona khas, bagi agama yang
diemban Rasulullah Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam . Sekali lagi, sebagian keindahan Islam akan terbukti, dengan Anda menyimak sajian rubrik fiqih kali ini. (Redaksi)
A. HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT
1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak
boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu
yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.
Dari Abu Hurairah,dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً".أخرجه البخاري
Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya.
[HR Al Bukhari].
Dan Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.
Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.
[Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma'az Zawa'id].
3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan kematian. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ انْقَطَعَ عَمَلُهُ
وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan
janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di
antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin
tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan.
[HR Muslim].
4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja' (berharap).
Diriwayatkan dari Anas
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian
Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab:
“Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku
takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:
لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja') di dalam hati
seseorang, dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan
dari harapannya dan Allah berikan rasa aman dari ketakutannya.
[HR At Tirmidzi].
5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang
lain, atau dia juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak
memungkinkan, hendaknya memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau
dibayarkan kafarah atau zakatnya.
6. Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang
akan diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis
di dekatnya
[HR Al Bukhari].
Apabila hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih
banyak dari sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli
waris. Tidak diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya,
dengan tujuan untuk menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau
melebihkan bagian seorang ahli waris daripada yang lain.
B. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT
1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah.
[HR Muslim].
Dari Muadz bin Jabal
Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga.
[HR Al Bukhari].
Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka
diulangi kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.
2. Berdo'a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيضَ أَوْ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah
berkata kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang
kalian ucapkan.
[HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].
Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:
- Terhentinya nafas.
- Kedua pelipisnya melemas.
- Hidung menjadi lunak.
- Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
- Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
- Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
- Tubuh menjadi dingin.
- Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya.
[Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti'
(5/331)].
Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.
3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir
yang dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama
Islam.
Dari Anas
Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ
أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang
berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya'ni
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian
Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang
telah menyelamatkan dia dari neraka."
[HR Al Bukhari].
C. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA
1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya.
Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah
Radhiyallahu 'anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا
إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan
mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik,
karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan.
[HR Muslim].
2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah
Radhiyallahu a'nha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris).
[Muttafaqun 'alaih].
Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.
3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya.
[HR Abu Dawud].
Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya.
Imam Ahmad rahimahullah
berkata: "Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan
jenazahnya." Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang
dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh
mayit.
Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan
menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati
suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju
seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh
para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/330), Al Mughni (3/367)].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Jika ada orang
yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh
para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau
meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini
disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak
mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong
mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka
bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan
belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk
diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy
Syarhul Mumti' 5/333].
4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya.
Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan
untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan
untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk
na'yu (pemberitaan) yang dilarang.
5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit.
Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur'an.
6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang
kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya.
Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi.
[HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].
Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi
hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi
hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.
7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah
Radhiyallahu 'anha berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ
عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ
تَسِيلُ
Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Utsman
bin Madh'un Radhiyallahu 'anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku
melihat Beliau mengalirkan air mata.
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq
Radhiyallahu 'anhu, beliau mencium Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau meninggal dunia.
D. MEMANDIKAN MAYIT
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila
telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur
kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun 'alaih].
2. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang
diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat
karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui
hukum-hukum memandikan mayit.
Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq
Radhiyallahu 'anhu berwasiat supaya
dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma' binti Umais, kemudian dia (Asma'
binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha',
Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk
memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat
dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak
ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus
jenazah.
3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada 'Aisyah
Radhiyallahu 'anha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu.
[HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].
4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang
pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil
laki-laki." Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula
setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].
5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka
selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya,
sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.
[At Taubah:84].
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti
mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian
dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup
dengan sesuatu. Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang
Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR
Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].
6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak
disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang
membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah
diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh
seorangpun. Kemudian dilakukan istinja' terhadap mayit dan dibersihkan
kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu' seperti wudhu' ketika akan
shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke
dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air,
lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya,
kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian
kanan.
Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut
dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang
terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya.
Beliau bersabda: "Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu
dari kapur." Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70
Su'alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al 'Utsaimin, hlm. 6].
7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.
8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih,
maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan
disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang
membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang
terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut
dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya,
mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di
belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan,
anggota wudhu'nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan
akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut
seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada
mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah
(debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang
dari kain atau yang lainnya.
10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu'.
[HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].
11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh
dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan
pakaian yang menempel padanya.
Dalam hadits Jabir
Radhiyallahu 'anhu :
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ
شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ
عَلَيْهِمْ
Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk
mengubur para syuhada' Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak
dimandikan dan tidak dishalatkan.
[HR Al Bukhari].
Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan
perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau
kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid.
Demikian pula orang yang mati karena wabah tha'un, atau karena penyakit
perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka
tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/364).
12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu':
وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati
keguguran), dia dishalatkan dan dido'akan untuk kedua orang tuanya
dengan ampunan dan rahmat.
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana
dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas'ud.
E. MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir
Radhiyallahu 'anhu :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya.
[HR Muslim].
Ulama berkata: "Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang
bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang
dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah." [Ahkamul Janaiz,
58].
2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:
....وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
… Kafanilah dia dengan dua bajunya.
[Muttafaqun 'alaih]
Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula
kisah Mush'ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian
dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.
3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali.
[HR Ahmad].
4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka
beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan
orang yang paling banyak hafalan Al Qur'annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.
5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: "Dalam hal ini telah ada hadits
marfu' (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi,
di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena
itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang
lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain."
Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.
F. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian.
[HR Muslim].
2.Tata cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya
wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang
imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni.
[HR At Tirmidzi]
b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah
ta'awwudz, tidak membaca do'a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian
takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do'a untuk mayit. Sebaik-baik do'a adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang
yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang
dewasa, lelaki dan wanita kami.
[HR At Tirmidzi]
Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:
اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ
وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ
لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka
hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di
antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah!
Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau
sesatkan kami sesudahnya.
[HR Abu Dawud].
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ
وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ
الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ
دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ
وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ
النَّارِ
Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia.
Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah
tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah
dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari
kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya,
keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik
dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari
adzab kubur dan adzab neraka.
[HR Muslim dari 'Auf bin Malik]
Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….
(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ....)
c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: "Pendapat yang benar, ialah tidak
masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian
hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/424)]
Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas'ud.
ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى
الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ
“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah n , namun
kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam
shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.
Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ
تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali.
(HR Ad Daraquthni dan Al Hakim).
Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul 'Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.
d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya
beliau mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu', karena hal
seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil
ijtihadnya.
Ibnu Hajar berkata: "Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya
beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah." [Diriwayatkan
oleh Sa'id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].
3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat.Yaitu
ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari
sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat
hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits 'Uqbah bin
'Amir.
4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama'ah. Dan tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah
radhiyallahu 'anha menyalatkan jenazah Sa'ad bin Abi Waqqash.
5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama.
Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat dengan
imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling
afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat
dengan imam.
6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin,
jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo'akan untuknya, niscaya
mereka bisa memberikan syafa'at untuknya.
[HR Muslim].
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ
أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ
اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh
empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan
memberikan syafa'at kepada mereka untuknya.
[HR Muslim].
7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Apabila dia salam dan
tidak mengqadha', tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,'Tidak
mengqadha'. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang
beruntun ketika berdiri'." [Lihat Al Mughni (2/511)].
8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama'ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu
ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak
memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma'ad (1/512)].
Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak
ada batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut
mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.
9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang
belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena
dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya
tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat
ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak
menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian
ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya
dalam keadaan yang berbeda.
Wallahu a'lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih
Ibnul Qayyim rahimahullah." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/520)].
10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkannya.
11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak
menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang
mati bunuh diri.
Dahulu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian.
[HR Abu Dawud].
Dan Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah
Radhiyallahu 'anhu , berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau
menyalatkannya.
[HR Muslim].
Hal ini karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
imam (pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi
pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin
wajib untuk menyalatkannya.
12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.
13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah
Radhiyallahu 'anha , beliau berkata:
وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
Demi, Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha' dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid.
[HR Muslim].
Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus
yang disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti' (5/444)].
G. MENGIRINGI JENAZAH
1. Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang muslim.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ (وَفِي رِوَايَةٍ: يَجِبُ
لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ
الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ
الْعَاطِسِ (رواه البخاري ومسلم)
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu):
menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri
undangannya dan mendo'akan orang yang bersin.
[HR Bukhari dan Muslim].
2. Keutamaan mengiringi jenazah.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ
وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا
الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
(رواه مسلم)
Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia
memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga
dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian Beliau ditanya:
“Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti dua
gunung yang besar.”
[HR Muslim].
3. Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا
إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ
عَنْ رِقَابِكُمْ
(رواه مسلم)
Bersegaralah kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih,
maka kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila
bukan orang shalih, maka kalian segera meletakkan kejelekan dari
punggung-punggung kalian.
[HR Muslim].
Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata:
“Pendapat yang benar ketika mengangkat mayit adalah berjalan
sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, Red.).
Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera, maksudnya tidak terlalu
cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang menjelaskan untuk
sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat lambat. Maka
(makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil
tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta'liqat Ar
Radhiyyah, Syaikh Al Albani, hlm. 1/ 454].
4. Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan sifat tarbi', yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan Ibnu Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu,
مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا
فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ
فَلْيَدَعْ
(رواه ابن ماجه)
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat
dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia
mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau,
hendaknya dia tinggalkan.
[HR Ibnu Majah].
Sementara itu,
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
"Menurutku, yang rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam
mengangkat jenazah. Maka hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan
tidak memberatkan dirinya. Terkadang sifat tarbi' sulit untuk dikerjakan
ketika banyak sekali orang yang mengiringi jenazah. Jadi akan
menyulitkan orang yang mengangkat dan orang yang lain." [Lihat Asy
Syarhul Mumti', hlm. 447]
5. Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki. Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:
نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
(رواه البخاري)
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada kami.
[HR Bukhari].
6. Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya.
Keduanya diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ وَاتَّبِعُوْا الْجَنَائِزَ
(أخرجه الهيثمي)
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah.
[Dikeluarkan oleh Al Haitsami].
Dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali
Radhiyallahu 'anhu :
الْمَشْيُ خَلْفَهَا أَفْضَلُ مِنْ الْمَشْيِ أَمَامَهَا كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فَذًّا
(أخرجه ابن أبي شيبة)
Berjalan di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di
belakangnya seperti keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah
dibandingkan dengan shalat sendirian.
[Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah].
Sedangkan orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
الرَّاكِبُ يَسِيرُ خَلْفَ الْجَنَازَةِ
(رواه أبو داود)
Seorang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah.
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Yang lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tsauban
Radhiyallahu 'anhu, ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiringi jenazah, Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima
dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ كَانَتْ تَمْشِي فَلَمْ أَكُنْ لِأَرْكَبَ وَهُمْ يَمْشُونَ فَلَمَّا ذَهَبُوا رَكِبْتُ
(رواه أبو داود)
Sesungguhnya malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai
sedangkan malaikat berjalan. Kemudian ketika mereka pergi, aku mau
mengendarainya.
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan, berjalan kaki di
depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya.
Disunnahkan bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di belakangnya.
Apabila berjalan kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah, di
belakangnya atau di depannya atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu,
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk
bersegera ketika mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu sungguh
berjalan dengan cepat. Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang
dengan melangkah setapak demi setapak merupakan bid'ah yang dibenci lagi
menyelisihi syari'at, dan menyerupai Ahli Kitab dari Yahudi." [Lihat
Zaadul Ma'ad (1/498)].
7. Tidak diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah.
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak
dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah, baik
dengan bacaan atau dzikir atau yang lain. Hal ini merupakan madzhab imam
yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari salaf, dari para sahabat
dan tabi'in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya."
[Lihat Majmu' Fatawa (24/293,294)].
8. Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar,
seperti memukul kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap
dan yang lainnya. Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika
jenazah diberangkatkan ke kuburan.
9. Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran,
sedangkan dia tidak mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap
mengikuti jenazah tersebut, demikian menurut pendapat yang benar.
Pendapat ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan
dia mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al
Akhbarul Ilmiyah Minal Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni
Taimiyyah, hlm. 132].
10. Tidak mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila kuburan letaknya jauh.
Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu' menghayati
kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak
membicarakan masalah duniawi.
11. Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اتَّبَعْتُمْ جَنَازَةً فَلَا تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ
(رواه البخاري ومسلم)
Apabila kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan.
[HR Bukhari dan Muslim].
12. Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu'. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
(رواه أبو داود والترمذي)
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’.
[HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].
H. MENGUBUR MAYAT
1. Mengangkat dan mengubur mayat merupakan suatu penghormatan kepadanya. Dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Allah berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَآءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah telah Kami jadikan tanah sebagai pelindung bagi kalian. Dalam keadaan hidup dan mati. [Al Mursalat:25, 26]
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
Kemudian Allah mematikan dan menguburkannya.
['Abasa:21]
2.Yang menguburkan mayat adalah kaum lelaki, meskipun mayat tersebut wanita. Hal ini karena beberapa hal:
- Bahwasanya hal ini dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pada zaman sekarang.
- Karena kaum lelaki lebih kuat untuk mengerjakannya.
- Jika hal ini dikerjakan oleh kaum wanita, maka akan menyebabkan terbukanya aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya.
Dalam masalah ini, wali dari mayit merupakan orang yang paling berhak menguburkannya, berdasarkan keumuman firman Allah:
وَأُوْلُوا اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ
Dan orang yang memiliki hubungan kerabat sebagian diantara mereka lebih berhak daripada yang lain.
[Al Anfal:75].
3. Disunnahkan untuk mengubur mayat di kuburan. Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu mengubur para sahabatnya di kuburan baqi'. Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun dari salaf bahwa Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengubur seseorang di selain kuburan, kecuali sesuatu yang telah mutawatir bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dikubur di kamarnya. Karena hal ini merupakan kekhususan Beliau. Sebagaimana hadits 'Aisyah
Radhiyallahu 'anha, beliau berkata:
لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ
مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ
يُدْفَنَ فِيهِ فَدَفَنُوْهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ
(رواه الترمذي)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, para
sahabat berselisih pendapat dalam masalah tempat untuk mengubur Beliau.
Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu berkata,”Saya mendengar dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuatu yang aku belum lupa. Beliau
bersabda,’Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi, kecuali di tempat
tersebut wajib untuk dikubur’.” Kemudian mereka mengubur Beliau di
tempat tidurnya.
[HR At Tirmidzi].
Orang yang mati syahid dikubur di tempat dia meninggal dunia. Karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mengembalikan syuhada' Uhud supaya dikubur di
tempat mereka terbunuh. Padahal sebagian syuhada' sudah dibawa pulang ke
Madinah.
4. Disunnahkan untuk memperluas dan mendalamkan kuburan.
Karena diriwayatkan dari Hisyam bin 'Amir
Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dikeluhkan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang mati terluka pada perang Uhud. Kemudian Beliau bersabda:
احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا وَأَحْسِنُوا ...
(رواه الترمذي)
Galilah dan luaskanlah, dan baguskanlah kuburan mereka.
[HR At Tirmidzi].
Karena yang demikian lebih tertutup bagi mayit dan lebih terjaga dari
binatang buas, dan baunya tidak akan mengganggu orang yang hidup.
5. Diperbolehkan duduk di dekat kuburan ketika mayat sedang dikubur, untuk mengingatkan orang yang hadir terhadap kematian.
6. Diperbolehkan untuk mengubur mayat di setiap waktu, dan makruh
hukumnya mengubur mayat pada tiga waktu yang dilarang, sebagaimana
telah dijelaskan dalam shalat jenazah, kecuali jika karena adanya
darurat.
Dan diperbolehkan mengubur mayat pada malam hari. Karena hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu di dalam Al Bukhari dan Muslim. Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu
berkata,”Telah mati seseorang yang dahulu Nabi menjenguknya. Mati pada
malam hari, kemudian para sahabat menguburnya pada malam itu juga.
Ketika pagi, Beliau bertanya, ’Mengapa kalian tidak memberitahukan
kepadaku?’ Kemudian Beliau mendatangi kuburnya, dan Beliau shalat
jenazah di kuburan.” Dan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka mengubur pada malam hari. [Lihat fatwa Lajnah Da'imah di dalam Fatawa Islamiyyah (2/34)].
7.Disunnahkan bagi orang yang memasukkan mayat untuk berdo'a.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي قُبُوْرِهِمْ فَقُوْلُوْا بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْلِ اللهِ
(رواه الحاكم)
Apabila kalian meletakkan jenazah di kuburnya, maka ucapkanlah:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْل اللهِ (dengan nama Allah dan di atas agama Muhammad). [HR Al Hakim].
8. Diletakkan mayat di kuburnya di atas bagian tubuhnya yang kanan, sedangkan wajahnya menghadap ke arah kiblat. Hal ini yang dikerjakan oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sekarang, dan yang dilakukan di seluruh kuburan. [Lihat Ahkamul Janaiz, 151].
9. Disunnahkan bagi orang yang ada di kuburan untuk melempar tanah
tiga kali dengan kedua tangannya setelah selesai menutup lahad. Karena hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى
جِنَازَةٍ ثُمَّ أَتَى قَبْرَ الْمَيِّتِ فَحَثَى عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ
رَأْسِهِ ثَلَاثًا
(رواه ابن ماجه)
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu
menyalatkan jenazah, kemudian Beliau melemparkan tanah dari arah
kepalanya tiga kali.
[HR Ibnu Majah].
10. Setelah mengubur mayit, disunnahkan beberapa hal:
- Untuk meninggikan kuburan sedikit dari tanah sekedar satu jengkal,
dan tidak diratakan dengan tanah supaya berbeda dengan yang lain,
sehingga bisa terjaga dan tidak dihinakan. Karena hadits Jabir
Radhiyallahu 'anhu :
أن النبي صلى الله عليه وسلم ألحد له لحدا ونصب عليه اللبن نصبا ورفع قبره من الأرض نحوا من شبر
(رواه ابن حبان والبيهقي)
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggali liang lahad
dan menancapkan batu bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal.
[HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
- Hendaknya kuburan dijadikan membulat bagian permukaannya (seperi
punuk onta). Karena di dalam hadits Sufyan At Tammar disebutkan:
رَأَيْتُ قَبْرَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَقَبْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ) مَسَنَّمًا
(رواه البخاري)
Aku melihat kubur Nabi (dan kubur Abu Bakar dan Umar) membulat.
[HR Bukhari].
- Agar diberi suatu tanda dengan batu atau yang lainnya, supaya
dikuburkan di dekatnya orang yang mati dari keluarganya. Karena ketika
Utsman bin Madh'un meninggal dunia, beliau meminta untuk diambilkan
sebuah batu, kemudian beliau meletakkannya di dekat kepalanya. Dan
beliau bersabda:
أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي
(رواه أبو داود)
Supaya aku mengetahui kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di dekatnya orang yang mati dari keluargaku.
[HR Abu Dawud].
- Tidak diperbolehkan mentalqin mayit setelah dikubur, sebagaimana
talqin yang dikenal pada zaman sekarang, yaitu dengan menuntun syahadat
la ilah illallah. Akan tetapi, hendaklah berdiri di dekat kubur kemudian
berdo'a. Dan orang yang hadir agar memintakan ampunan bagi mayit. Di
dalam hadits Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ
دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ
وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
(رواه أبو داود)
Dahulu, apabila Nabi selesai dari mengubur mayit, Beliau berdiri di
dekatnya dan bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan
mintakan supaya dia diberikan keteguhan, karena sekarang ini dia sedang
ditanya".
[HR Abu Dawud].
Setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa adanya komando (berjamaah).
[Lihat Ahkamul Janaiz (153-156), Ash Shalat, Dr. Abdullah Ath Thayyar,
hlm. 289].
11. Diperbolehkan untuk mengeluarkan (membongkar kembali) mayat dari dalam kuburnya untuk tujuan yang benar, seperti kalau dia dikubur sebelum dimandikan dan dikafani.
12. Bagi seseorang tidak disunnahkan untuk menggali kuburnya sebelum dia mati.
Karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakan perbuatan
seperti ini. Dan seseorang tidak mengetahui kapan dan dimana dia akan
mati. Apabila maksudnya untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian,
maka hal ini dengan mengamalkan amal shalih. [Lihat Al Akhbarul
Ilmiyyah, hlm. 134].
13. Tidak diperbolehkan menulis sesuatu di atas kuburan.
Diriwayatkan dari Jabir
Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ
الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ
تُوطَأَ
(رواه الترمذي)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang di atas kuburan diberi
warna dan ditulis sesuatu. Dan Beliau melarang di atasnya dibangun dan
diinjak.
[HR At Tirmidzi].
14. Tidak boleh mengubur orang kafir di kuburan kaum muslimin dan sebaliknya.
15. Tidak boleh menambahkan sesuatu di atas kuburan, baik dengan tanah atau bangunan. Karena hadits Jabir
Radhiyallahu 'anhu yang marfu', beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ...
(رواه النسائي)
Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau ditambahkan kepadanya tanah.
[HR An Nasa-i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
16. Dibenci berjalan di atas kuburan dengan mengenakan alas kaki tanpa ada udzur.
Namun apabila ada udzur, seperti tempatnya sangat panas atau terdapat
banyak duri, maka tidak mengapa berjalan dengan mengenakan sandal.
Didalam hadits Basyir bin Nahik (bekas budak Rasulullah), ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ... فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي الْقُبُورِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ
فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ
فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
(رواه أبو داود)
Ketika aku berjalan bersama Rasulullah n , tiba-tiba ada seseorang
yang berjalan di kuburan dengan mengenakan sandal. Kemudian Beliau
bersabda: “Wahai, orang yang mengenakan sandal! Celakalah engkau!
Lepaskanlah dua sandalmu!” Kemudian lelaki tersebut melihat sandalnya.
ketika dia melihat Rasulullah melepas sandalnya, maka dia melepas dan
melempar kedua sandalnya.
[HR Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
17. Diharamkan memasang lampu di kuburan.
Dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ
الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
(رواه أبو داود و الترمذي)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang
ziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan
orang yang memasang lampu padanya.
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
18. Tidak diperbolehkan buang hajat di kuburan.
19. Diharamkan mengubur satu mayat di atas kuburan orang lain,
kecuali diperkirakan kuburan yang pertama sudah menjadi tanah. Dalilnya,
ialah apa yang dikerjakan kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman
sekarang, bahwa seseorang di kuburnya sendirian.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tidak ada
bedanya ketika mengubur dalam satu waktu, yaitu dimasukkan dua kuburan
secara bersamaan atau hari ini dikubur seseorang kemudian besok dikubur
orang lain,” kemudian beliau berkata: “Kecuali dalam keadaan darurat,
seperti banyaknya orang yang mati, kemudian orang yang menguburnya
sedikit. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa apabila dimasukkan dua
atau tiga orang dalam satu kuburan.” [Lihat Asy Syarhul Mumti'
(5/461)].
20. Disunnahkan untuk mengumpulkan kerabat yang mati di satu pekuburan, dan haram hukumnya mengumpulkan beberapa mayat dalam satu liang lahad, kecuali ada hal darurat.
21. Diharamkan menyembelih dan makan dari sembelihan tersebut di kuburan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya
menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar,
atau dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap
tidak sah. Karena hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda
Rasulullah:
لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ
(رواه أبو داود)
Tidak ada sembelihan untuk si mayat dalam agama Islam.
[HR Abu Dawud].
Dan beliau berkata: “Mengeluarkan shadaqah ketika mengiringi jenazah
merupakan perbuatan yang dibenci, karena menyerupai menyembelih di
kuburan.” [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, 135].
22. Tidak boleh membaca Al Qur'an di kuburan. Karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya. Maka perbuatan ini termasuk bid'ah.
23. Tidak boleh meletakkan pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Karena hal ini termasuk bid'ah dan berprasangka yang jelek kepada mayit.
Dahulu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan pelepah
kurma di atas dua kuburan ketika Beliau mengetahui bahwa keduanya sedang
disiksa. Adapun kita tidak mengetahui hal tersebut.
24. Tidak boleh meletakkan kain hijau di atas keranda yang tertuliskan ayat kursi. Karena hal ini termasuk meremehkan terhadap ayat-ayat Allah.
Hal ini tidak pernah ada di dalam Sunnah dan tidak pernah dikerjakan
oleh seorang pun di antara para sahabat dan tabi'in. Seandainya
perbuatan seperti ini baik, pasti mereka telah mendahului kita dalam
mengamalkannya. Terlebih lagi apabila terdapat keyakinan yang salah
bahwa perbuatan ini akan bermanfaat bagi si mayit. Padahal yang benar,
tidak akan bermanfaat sama sekali bagi si mayit. [Lihat Ash Shalat, hlm.
293].
I. TAKZIYAH KEPADA KELUARGA MAYIT
Harus kita ketahui, kematian adalah taqdir dan ketentuan dari Allah. Dia berfirman:
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang, kecuali dengan
ijin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepadaNya, niscaya Allah akan
memberi petunjuk hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
[At Taghabun:11].
Apabila seseorang yakin ketika dia tertimpa musibah, kehilangan suami
atau anak dan kerabatnya, bahwa semua itu dengan ijin dari Allah, maka
Allah akan memberikan taufik kepada hatinya untuk rela terhadap
taqdirNya.
Adapun yang dimaksud dengan takziyah, yaitu menghibur keluarga mayit
dengan menganjurkan supaya mereka bersabar terhadap taqdir Allah dan
mengharapkan pahala dariNya. Waktu takziyah, dimulai ketika terjadinya
kematian, baik sebelum dan setelah mayat dikubur, sehingga hilang dan
terlupakan kesedihan mereka.
1. Takziyah kepada keluarga mayit adalah Sunnah. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ
سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه ابن
ماجه)
Tidak ada seorang mukmin yang memberikan takziyah kepada saudaranya
dalam suatu musibah, kecuali Allah akan memberikan kepadanya dari
pakaian kehormatan pada hari kiamat.
[HR Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani]
2. Sebaik-baik ucapan takziyah adalah takziyah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya Zainab, ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa bayinya meninggal dunia. Beliau bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
(رواه البخاري)
Sesungguhnya milik Allah untuk mengambilnya dan milikNya untuk
diberikan, dan segala sesuatu disisiNya dengan ketentuan yang sudah
ditetapkan waktunya. Maka, hendaknya engkau sabar dan ihtisab.
[HR Bukhari].
3. Disunnahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit, karena mereka sibuk dengan musibah yang menimpanya.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan hal itu, ketika Ja'far bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu mati syahid. Beliau bersabda:
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
(رواه أبو داود)
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang perkara yang menyibukkan mereka. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
Keluarga mayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang yang datang,
karena hal ini akan menambah atas musibah mereka dan menyerupai
perbuatan orang jahiliyah. Yakni termasuk niyahah yang dilarang oleh
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, beliau berkata:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
(رواه ابن ماجه)
Kami dahulu menganggap berkumpul di tempat keluarga mayit, dan mereka
membuatkan makanan kepada orang yang datang termasuk niyahah.
[HR Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
4. Tidak boleh sengaja berkumpul untuk takziyah di tempat manapun juga,
baik di rumah atau di tempat yang lain, dan tidak boleh juga
mengumumkannya, karena tidak ada dalilnya. Dan sebagian Salaf
menganggap, bahwa hal ini termasuk niyahah (meratap).
5. Tidak diperbolehkan membaca Al Qur'an ketika takziyah,
terlebih menyewa orang-orang untuk membaca Al Qur’an dan berkumpul
dengan suatu hidangan makanan sebagaimana banyak terjadi di kalangan
kaum muslimin.
6. Ketika takziyah, tidak boleh mengkhususkan pakaian dengan satu warna tertentu, seperti warna hitam. Karena hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Salaf.
7. Bagi orang yang sedih, tidak boleh merobek bajunya atau menampar pipinya atau berteriak dengan ucapan jahiliyah.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
(رواه مسلم)
Tidak termasuk dari golongan kami orang yang memukul pipinya atau merobek bajunya atau menyeru dengan seruan jahiliyah.
(HR Muslim).
Dari Abu Musa Al Asy'ari
Radhiyallahu 'anhu , beliau berkata:
أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنْ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ
(رواه البخاري)
Saya berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berlepas diri dari orang yang mengangkat suaranya
ketika tertimpa musibah dan orang yang mencukur rambutnya dan orang yang
merobek bajunya.
[HR Bukhari].
8. Diperbolehkan menangis, Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menangis ketika Ibrahim, putra Beliau meninggal dunia. Beliau bersabda:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَكِنْ لَا نَقُولُ
إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ
لَمَحْزُونُونَ
(رواه البخاري ومسلم)
Air mata mengalir dan hati menjadi sedih, akan tetapi kita tidak
mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Allah. Dan kami sungguh sedih
berpisah denganmu, wahai Ibrahim.
[HR Bukhari dan Muslim].
Selama tidak adanya nadab (yakni menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan
huruf nadab, yaitu "ya") dan niyahah (yakni meratapi mayit dengan
mengeraskan suara dengan satu alunan). [Lihat Asy Syarhul Mumti'
(489/493)].
9. Para ulama telah sepakat haramnya niyahah, yaitu dengan
menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan mengeraskan suaranya. Karena dalam
hal ini terdapat perbuatan jahiliyah, serta tidak menerima terhadap
taqdir dan ketentuan Allah. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
(رواه مسلم)
Orang yang meratap apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal
dunia, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat, sedangkan pada
tubuhnya pakaian dari ter dan baju besi dari kudis. [HR Muslim].
Dan dari Umar
Radhiyallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
(رواه مسلم)
Seorang mayit akan disiksa di kuburnya dengan sebab niyahah yang ditujukan kepadanya.
[HR Muslim].
Dari Abdullah bin Umar
Radhiyallahu 'anhu,
أَنَّ حَفْصَةَ بَكَتْ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ مَهْلًا يَا بُنَيَّةُ
أَلَمْ تَعْلَمِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ (رواه مسلم
Sesungguhnya Hafshah menangisi kematian Umar.” Beliau
berkata,”Sabarlah, wahai saudariku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya seorang
mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya’.”
[HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Menurut pendapat yang
benar, bahwa mayit akan tersiksa karena tangisan yang ditujukan
kepadanya sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits yang shahih.” [Lihat
Majmu' Fatawa (24/369,370)].
10. Tidak diperbolehkan mencela orang yang sudah meninggal dunia.
Dari 'Aisyah, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
(رواه البخاري)
Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati, karena mereka mendapatkan dari apa yang telah mereka kerjakan.
[HR Bukhari].
11. Disunnahkan untuk ziarah kubur dengan tujuan untuk mengambil pelajaran dan mengingatkan kematian, meskipun ziarah kubur orang yang mati dalam keadaan kafir.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ
فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ
أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ
أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ
(رواه مسلم)
Nabi ziarah kubur ibunya. Beliau menangis dan membuat orang-orang
yang di sampingnya menangis. Beliau bersabda,”Aku telah minta ijin dari
Rabb-ku untuk memohonkan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Allah tidak
mengijinkanku. Kemudian aku minta ijin untuk ziarah ke kuburannya, maka
Allah mengijinkan kepadaku. Ziarahlah kalian ke kuburan, karena akan
mengingatkan kalian kepada kematian.
[HR Muslim].
12. Disunnahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk mengucapkan do'a.
Diantara do'a yang masyru', dari 'Aisyah
Radhiyallahu 'anha :
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا
وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ
(رواه مسلم)
Semoga keselamatan bagi kalian yang tinggal di sini dari kaum
mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan
orang yang kemudian. Dan kami, insya Allah akan menyusul kalian.
[HR Muslim].
Dari Buraidah
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Dahulu
Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat, apabila mereka keluar ke
kuburan, maka satu diantara mereka berdo'a:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ( بِكُمْ ) لَلَاحِقُونَ (
أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ ) أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا
وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
(رواه مسلم)
Semoga keselamatan bagi kalian yang ada di sini dari kaum mukminin
dan muslimin. Dan kami, insya Allah, sungguh akan menyusul kalian.
Kalian lebih dahulu daripada kami dan kami mengikuti kalian. Saya minta
kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan kalian.
[HR Muslim].
13. Tidak boleh bagi wanita untuk ihdad (berkabung) lebih dari tiga
hari, kecuali apabila ditinggal mati suaminya; maka dia ihdad selama
empat bulan sepuluh hari. Kecuali apabila dia hamil, maka selesai masa
ihdadnya ketika dia melahirkan kandungannya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: "Telah
menjadi kebiasaan di beberapa negara Islam pada zaman sekarang adanya
perintah untuk ihdad (berkabung) karena meninggalnya seorang raja atau
pemimpin selama tiga hari atau kurang atau lebih, disertai dengan
liburnya kantor-kantor pemerintahan dan pengibaran bendera. Tidak
diragukan lagi, bahwa hal ini menyelisihi syari'at Islam dan tasyabbuh
dengan musuh-musuh Islam. Padahal telah datang hadits-hadits yang shahih
yang melarang dan memperingatkan tentang ihdad, kecuali bagi seorang
istri, (dia) diperbolehkan ihdad ketika ditinggal mati suaminya selama
empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana boleh bagi wanita untuk ihdad
tidak lebih dari tiga hari, apabila ada kerabatnya yang mati. Adapun
selain itu, maka dilarang. Dan tidak ada tuntunannya di dalam syari'at
yang sempurna ini dalil yang membolehkan ihdad terhadap seorang raja
atau pemimpin atau orang lain. Padahal telah meninggal dunia pada zaman
Nabi putra Beliau, (yaitu) Ibrahim dan tiga orang putrinya, dan Beliau
tidak pernah ihdad sama sekali. Dan pada waktu itu, terbunuh
panglima-panglima perang Mu'tah, Beliau pun tidak ihdad. Kemudian Beliau
wafat, sedangkan Beliau makhluk yang paling mulia. Kematian Beliau
merupakan musibah yang paling besar. Akan tetapi, tidak seorangpun
diantara sahabat yang melakukan ihdad…." [Lihat Majmu Al Fatawa
(1/415)].
14. Ada beberapa amalan orang hidup yang akan bermanfaat bagi mayit. Diantaranya:
- Do'a seorang muslim untuknya.
- Apabila walinya mengqadha' puasa nadzarnya.
- Apabila walinya atau orang lain melunasi hutangnya.
- Amal yang dikerjakan oleh anaknya yang shalih, maka kedua orang tuanya akan memperoleh pahala yang serupa.
- Amalan shalih dan shadaqah jariyah
Demikianlah beberapa hal yang dimudahkan Allah untuk kami kumpulkan.
Semoga bermanfaat bagi saya pribadi dan para penuntut ilmu, serta kaum
muslimin pada umumnya. Silahkan lihat
tutorial video dan gambar penyelenggaraan jenazah agar mudah memahaminya.
Wa billahit taufiq.
Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11-12/Tahun VIII/1426H/2005.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Sumber: http://almanhaj.or.id pada Kategori Fiqih : Jenazah dan Maut